Rabu, 31 Maret 2010

No Body Perfect

Banyak orang yang bilang kalau manusia itu sempurna.....
Tapi,, kenyataannya masih banyak orang yang sering melakukan hal-hal yang di luar kesadaran mereka...Dan,, masih ada aja orang-orang yang selalu menganggap dirinya PERFECT alias sempurna.. Mereka selalu membanggakan diri sendiri,serta mencari-cari kesalahan orang lain. Apa itu yang mereka anggap sempurna ?

Sedangkan mereka tidak bisa memperbaiki diri sendiri.. Orang dapat dikatakan sempurna, jika ia dapat introspeksi diri dan mau menerima kritik dan saran dari orang lain tentang diri mereka dan orang dianggap sempurna jika mereka dapat mengetahui sifat buruk dari diri mereka..

Jadi,, koreksilah dirimu masing-masing sebelum kamu mengkoreksi dan mengkritik orang lain.


By : Arinta Maulina

Senin, 29 Maret 2010

To REMEMBER

Andai Al-qur'an dapat bicara,, ia akan berkata :

" Waktu kau masih anak-anak, kau bagai teman sejatiku,dengan wudhu kau sentuh aku, dalam keadaan suci kau pegang aku,, kau baca dengan lirih dan keras,, sekarang kau telah dewasa, nampaknya kau sudah tidak berminat lagi padaku. Apakah Aku bacaan usang yang tinggal sejarah ??? Sekarang kau simpan aku dengan rapi,, kau biarkan aku sendiri.. Aku menjadi kusam dalam lemari,, berlapis debu..
Kumohon peganglah Aku lagi,, bacalah Aku setiap hari,, karena Aku akan jadi penerang dalam KUBURMU !!!!!!!




BY : Arinta Maulina

Apakah setiap orang memang tidak akan bisa menjadi sempurna ???

Sesuai dengan judulnya, Apakah setiap orang memang tidak akan bisa menjadi sempurna? Entah kenapa sejelek apapun kita ataupun sebaik apapun kita, pasti akan ada orang yang tidak puas tentang diri kita. Contoh saja ketika kita pada awalnya adalah orang yang fleksibel terhadap keadaan, tiba-tiba ada aja orang yang ngomong “lw itu terlalu fleksibel, tegas dikit napa jadi orang, gimana smua maw berjalan dengan lancar kalo lw ngeiyain smuanya kayak gitu aj??”. Ok fine, gw emang tipe orang yang berpikiran terbuka dan menerima kritik sebagai masukan. Jadi gw berusaha mencoba untuk menjadi lebih tegas, semua harus bisa berjalan sesuai dengan yang udah gw rencanakan, dan pada akhirnya tuh orang bilang, “nah gitu dong, kalo lw tegas gitu kan enak jadi ngeliatnya.” Apakah dengan statement itu masalah selesai? TIDAK. Kenyataannya adalah setelah statement dari orang tersebut, terdapat statement lain yang seperti ini, “Lw kenapa seh kok jadi saklek (red: kaku) begini sekarang? Gw lebih seneng lw yang dulu gitu, smuanya jadi enak, nyantai orangnya. Sekarang lw jadi g asik gini.” GA ASIK??? Di saat gw sudah menjadi seperti kebiasaan gw, ada yang komentar kalau harus begini, dan di saat gw anggap itu kritikan yang baik dan memutuskan untuk berubah, orang yang lain bilang gak bagus dan gw lebih baik begitu. Terus terang gw sebenernya g ngerti mereka semua pengen gw kayak gimana.

Dari suatu sudut pandang, gw melihat, Ya, gw ngerti semua orang punya pendapat yang berbeda dan emang bener gw g bakalan bisa nyenengin semua orang, dan emang gw juga ngerti dan yakin kalo semua kritikan yang mereka kasih ke gw adalah untuk yang terbaik kepada gw, untuk membangun gw, tapi yang mana yang harus gw ikutin?? Y dalam suatu kondisi kan g mungkin gw bisa mengikuti kedua saran mereka yang emang keduanya isinya berbeda kan??… Akhirnya tiba-tiba teringat kata orang “Udah, dalam hidup ini lw ikutin aja ap yang lw maw, emang semua orang bakal punya cara pandang yang berbeda-beda, tapi tetep aj jadi yang lw maw aj. Hidup ini cumen sekali, gunakanlah menjadi yang lw maw”, atau kayak kata seorang senior gw di elektro “Kebanyakan orang di indonesia ini bukan menjadi apa yang mereka inginkan, namun menjadi apa yang masyarakat inginkan. Contoh aja, tanpa disadari banyak orang berbondong-bondong mengejar jurusan-jurusan favorit di universitas-universitas karena jurusan itu menyandang grade yang tertinggi, bukan karena mereka menginginkan itu. Dan coba lw pikir, apakah lw salah satu dari orang-orang itu?” pada saat itu gw berfikir, tampaknya sih iya, gw emang korban dari apa yang diinginkan orang lain, gw berusaha menjadi apa yang dianggap orang bagus. Dan.. okelah, misalnya sekarang gw sadar akan apa yang mereka katakan, dan sekarang gw pengen menjadi apa yang gw maw, yaitu gw pengen bebas, gw pengen menjadi orang yang tidak terikat oleh apa yang orang lain lihat ke diri gw. G peduli orang mau bilang apa, mau bilang gw orang yang g punya aturan, atau gw g punya sopan santun, toh gw menjadi apa yg gw inginkan, dan gw merasa seneng gitu. Seperti itu kan maksudnya?? Trus kalo udah kayak gt?? Bukannya kita hanya menjadi orang egois yang tidak perduli terhadap orang lain?? Dan sesuai teoripun sosiologi pun, manusia adalah makhluk yang sosial yang tidak bisa lepas dari orang lain. Berarti ada yang salah dong tentang hal ini?? Di saat seperti ini gw mendengar pendapat yang lain, “Ya lw emang bisa jadi apa yg lw maw, tapi kebasan lw itu ada batasnya, terbatas oleh norma-norma dan aturan yang ada.” Nah loh, kalau begitu berarti g bebas dong namanya, bebas itu tidak terbatas oleh ikatan apapun kan?? Bahkan dalam kbbi online ditulis begini “be•bas /bébas/ a lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa):” Dengan statement dari sini berarti hal itu kontradiksi dengan statement sebelumnya yang menyarankan gw untuk menjadi seperti yang gw maw kan??

Yah, pada akhirnya ketika gw semakin berfikir, gw hanya menjadi bingung sendiri. Kesimpulan dari semua yang bisa gw ambil hanyalah “Dalam kehidupan ini pasti akan ada sesuatu hal yang saling bertolak belakang, berperilaku seperti dua sisi mata koin yang berbeda, sehingga tidak ada yang benar dalam hidup ini. Kebenaran hanyalah apa yang dianggap mayoritas orang benar. Ketika nilai-nilai dan norma-norma dalam hidup ini bergeser, maka kebenaran itupun akan ikut bergeser sesuai dengan pengikutnya.” Hmm, yah mungkin memang hanya Tuhanlah yang bisa menjadi sempurna bagi semua umatnya. Sebenarnya entah kenapa walaupun pada akhirnya gw mendapat kesimpulan seperti tadi, gw masih belum cukup puas, karena belum mendapat jawaban yang pasti. Pada akhirnya gw hanya mengambil kata-kata seseorang untuk menenangkan diri, menahan diri gw untuk berhenti berfikir tentang hal ini sementara yaitu “Semua hal yang terjadi di dunia ini akan menjadi suatu masalah, ketika KITA menganggap hal itu adalah sebuah masalah. Namun jika kita tidak menganggap hal yang terjadi itu sebagai suatu masalah, maka hal-hal itu hanya akan menjadi hal-hal biasa yang terjadi dalam hidup kita, hanya akan menjadi pelengkap warna pelangi dalam perjalanan hidup yang indah ini.”




sumber : widhisurya.wordpress.com

Renungan bagi Orang yang Sempurna Normal

Di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Sempurna disini dalam arti sempurna yang benar-benar sempurna, sempurna secara fisik, psikologis, sosial, budaya, intelektual, ataupun sempurna dalam bidang-bidang yang lain. Yang ada, menurut saya, hanyalah kondisi hampir sempurna. Itupun tidak pada semua bidang. Jika seseorang kelihatannya serba bisa, serba mampu, serba berpotensi, itu hanya yang kelihatan saja.

Dalam tulisan ini saya menyebut kesempurnaan demikian sebagai kesempurnaan yang normal. Orang bisa hidup dan bergaul di tengah masyarakat tanpa dihalangi oleh kelemahan sedikitpun. Saya rasa sebagian orang memiliki kesempurnaan yang normal.

Dibawahnya, sekali lagi menurut saya, ada kelompok orang yang memiliki kesempurnaan tidak normal. Orang ini memiliki ketidak sempurnaan yang nampak dalam pergaulan hidup sehari-hari, namun ia masih mampu hidup dan bekerja seperti biasa. Kecuali tentu saja pada bidang-bidang dimana ia memiliki kelemahan. Jumlah orang yang demikian sedikit saja.

Di bawahnya masih ada kelompok orang yang tidak sempurna. Ketidak-sempurnaannya bisa terlihat dengan jelas. Mereka tak bisa hidup secara mandiri, kecuali (ingat bahwa selalu ada perkecualian) mereka yang dikaruniai semangat hidup yang luar biasa, sehingga mampu mengalahkan ketaksempurnaannya. Contohnya si buta Stevie Wonder yang mampu menjadi musisi kelas dunia.

Kelompok pertama dan kedua adalah kelompok orang-orang yang mampu bekerja secara normal. Namun menurut pengamatan saya, saat ini ada sesuatu yang saling berkebalikan diantara kedua kelompok ini. Paling tidak di dunia kaum muda di tempat saya.

Pada dasarnya setiap manusia dikaruniai banyak kelebihan dan sedikit kekurangan. Tuhan memberi kelebihan ini sebagai potensi, artinya modal dasar yang harus dikembangkan. Jika potensi ini tidak diolah, diasah dan dikembangkan, maka akan tersia-siakan. Potensi ini tidak akan memiliki makna sama sekali. Bahkan potensi ini akan mati ketika kita memasuki usia senja. Potensi ini bisa diasah dan dikembangkan dalam kegiatan masyarakat, baik masyarakat sosial, masyarakat lembaga pendidikan maupun masyarakat kelompok keagamaan.

Kasus yang saya amati adalah kaum muda di gereja paroki saya. Dari 4000-an umat, saya rasa ada sekitar 150 sampai 200 kaum muda. Namun dari jumlah itu, hanya satu dua orang yang mau terlibat dalam kegiatan di paroki. Sangat disayangkan memang. Saya tak tahu, apakah mereka berafiliasi dengan komunitas masyarakat lain atau tidak.

Menurut perkiraan saya, mereka enggan terlibat karena takut repot untuk mengurusi ini itu dalam organisasi yang mereka ikuti. Mereka menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk berkembang. Mereka telah menyia-nyiakan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Sangat disayangkan sekali.

Di sisi lain kelompok pertama ini, yaitu mereka yang memiliki kesempurnaan yang normal, begitu arogan dengan hal-hal yang terkait dengan uang.

Coba jika Anda melamar pekerjaan di sebuah lembaga besar. Anda akan dipaksa untuk mengikuti psikotes. Psikotes merupakan salah satu bukti arogansi manusia-manusia sempurna normal. Dengan berbagai cara pelamar diukur berdasarkan ukuran manusia sempurna normal. Dan ini akan merugikan orang-orang dari kelompok kedua. Coba amati bagaimana nasib orang-orang yang tidak terkategorikan sebagai sempurna normal ketika melamar ke lembaga-lembaga besar. Hampir dipastikan akan gagal.

Sekarang bagaimana dengan kelompok kedua, yaitu kelompok orang-orang sempurna namun tidak normal, orang orang yang mampu hidup mandiri namun memiliki kelemahan pada bidang-bidang tertentu. Ada kalanya orang-orang dari kelompok kedua dengan gigih bersaing (tidak melalui lembaga-lembaga besar tentu saja, karena sistem pada lembaga-lembaga besar hanya kondusif bagi orang-orang sempurna normal) dengan orang-orang dari kelompok pertama.

Saya termasuk orang kelompok kedua. Saya memiliki kekurangan dalam alat bicara saya. Namun saya mampu hidup biasa karena organ tubuh saya lainnya normal. Untungnya Tuhan maha adil. Tuhan memberi saya karunia diatas normal dalam bidang tulis menulis. Saya tidak menyia-nyiakan karunia ini. Saya selama bertahun-tahun belajar menulis, bahkan sampai saat ini saya masih mengembangkan kemampuan saya. Dengan karunia ini saya memiliki pekerjaan sampingan sebagai wartawan majalah rohani. Di paroki, saya juga ditunjuk menjadi koordinator tim kerja komsos (komunikasi sosial).

Saya melihat ada banyak orang muda sempurna normal yang menyia-nyiakan karunianya. Karena takut sibuk, mereka enggan ikut kegiatan di kelompok keagamaan maupun masyarakat umum. Sibuk, sebenarnya adalah alasan. Alasan yang sebenarnya hanyalah enggan saja, malas.

Jika saya yang memiliki kelemahan mampu melakukannya, mengapa Anda semua yang memiliki karunia lebih baik dari saya tak mampu dan tak mau melakukannya.


Sumber : wikimu.com

Tidak Ada Orang Yang Sempurna di Mata Ego Kita


Selama kita menggunakan kacamata “persepsi” kita, di dunia ini tidak akan ada orang yang sempurna di mata kita..

Bila sudah ada persepsi dan cara pandang yang baku dalam diri kita, selalu saja kita dapat melihat kesalahan dan kekurangan orang lain, Selalu saja saya dapat menemukan sesuatu yang saya “anggap” sebagai kelemahan-kelemahan dalam diri orang lain. Dan kelemahan2 mereka, kesalahan dan kekurangan dalam diri mereka sungguh mengganggu pikiran saya. Saya menjadi gelisah dan tidak tenang. Dan di kepala saya selalu muncul gambaran-gambaran akan kesalahan2 dan kekurangan2 mereka. Terutama hal semacam ini terjadi kepada mereka yang terlalu intelektual, dan lebih cenderung menggunakan logika daripada perasaan.

Aku ingat sekali waktu itu aku hampir marah-marah kepada ayah saya, entah kenapa, setiap kali saya mandi, dia selalu mematikan pompa air sanyo, sehingga air mandi menjadi macet dan saya harus keluar dan teriak2 untuk minta dinyalakan kembali. Hal ini terjadi berulang-ulang dan sering terjadi. Di mata saya, Ayah saya adalah seorang yang “bodoh” dan tidak tanggap terhadap situasi dan kondisi. Dia tidak lulus sekolah sd. Kecerdasan emosional sungguh rendah dan daya empatinya juga rendah. Sehingga saya selalu merasa kewalahan menghadapi orang semacam ini. Seharusnya saya tidak mempunyai ayah yang demikian. Itulah pemikiran saya.

Baru saja, saya mau marah.. Dan saya mencoba menenangkan diri, tiba2 dalam sepersekian detik, saya teringat.. selama sehari-sehari, ayah sayalah yang mencuci piring saya.. saya telah makan & minum, dia yang mencuci piring dan gelas saya.. dia sering tidak mengizinkan saya untuk mencuci piring.. dia juga yang menyetrika baju dan celana saya, dan saya tinggal pakai saja. Ia telah melakukan ini selama bertahun-tahun. Dan seolah-olah dia telah menjadi pembantu di rumah ini.

Mengapa aku sangat jarang memperhatikan hal-hal semacam ini, Mengapa aku tidak berterima kasih atas usaha dan jerih payahnya untuk menjadi seorang “ayah” menurut caranya. Walaupun bukan itu sebenarnya yang aku inginkan. Ia telah berusaha semampunya sebatas kemampuannya. Ia memang tidak sempurna.. begitu juga dengan diriku.. anaknya yang tidak sempurna.. Apa yang telah aku berikan kepada dia sebagai sang Ayah ? Di rumah aku hanya makan & minum, meletakkan piring & gelas dan kemudian pergi keluar.. Aku mandi dan memakai baju yang telah disetrika dan meletakkan baju kotor itu di tempat cucian dan kemudian pergi.. pulang2 ke rumah untuk tidur. Aku jarang menghibur dirinya. Jarang juga memberikan sesuatu atau uang. Bahkan apa yang telah aku lakukan tidak sebanding dengan apa yang telah ia lakukan. Lalu kenapa aku marah2 ?

Tidak terasa, air mata telah menetes di pipiku ini.. Aku telah terbiasa dimanja.. dan ini adalah kesalahan kedua belah pihak.. Mulai kini aku berjanji untuk mengintropeksi diri, bukan untuk orang lain, tapi untuk kebaikan diriku sendiri. Sifat menghakimi ini sungguh egois. Masalah pompa air sanyo pun terselesaikan begitu saja, semenjak saya merasa enjoy aja.. apakah air sanyo itu dimatikan atau tidak. Bila dimatikan, saya tidak lagi marah2. Paling2 saya keluar dan ngomong baik2, atau saya sendiri turun menyalakan air sanyo itu. Sejak itu, tidak ada lagi peristiwa air sanyo yang dimatikan waktu mandi. Heran juga.. terselesaikan begitu saja.




sumber : yauhui.net