Di dunia ini memang tak ada yang sempurna. Sempurna disini dalam arti sempurna yang benar-benar sempurna, sempurna secara fisik, psikologis, sosial, budaya, intelektual, ataupun sempurna dalam bidang-bidang yang lain. Yang ada, menurut saya, hanyalah kondisi hampir sempurna. Itupun tidak pada semua bidang. Jika seseorang kelihatannya serba bisa, serba mampu, serba berpotensi, itu hanya yang kelihatan saja.
Dalam tulisan ini saya menyebut kesempurnaan demikian sebagai kesempurnaan yang normal. Orang bisa hidup dan bergaul di tengah masyarakat tanpa dihalangi oleh kelemahan sedikitpun. Saya rasa sebagian orang memiliki kesempurnaan yang normal.
Dibawahnya, sekali lagi menurut saya, ada kelompok orang yang memiliki kesempurnaan tidak normal. Orang ini memiliki ketidak sempurnaan yang nampak dalam pergaulan hidup sehari-hari, namun ia masih mampu hidup dan bekerja seperti biasa. Kecuali tentu saja pada bidang-bidang dimana ia memiliki kelemahan. Jumlah orang yang demikian sedikit saja.
Di bawahnya masih ada kelompok orang yang tidak sempurna. Ketidak-sempurnaannya bisa terlihat dengan jelas. Mereka tak bisa hidup secara mandiri, kecuali (ingat bahwa selalu ada perkecualian) mereka yang dikaruniai semangat hidup yang luar biasa, sehingga mampu mengalahkan ketaksempurnaannya. Contohnya si buta Stevie Wonder yang mampu menjadi musisi kelas dunia.
Kelompok pertama dan kedua adalah kelompok orang-orang yang mampu bekerja secara normal. Namun menurut pengamatan saya, saat ini ada sesuatu yang saling berkebalikan diantara kedua kelompok ini. Paling tidak di dunia kaum muda di tempat saya.
Pada dasarnya setiap manusia dikaruniai banyak kelebihan dan sedikit kekurangan. Tuhan memberi kelebihan ini sebagai potensi, artinya modal dasar yang harus dikembangkan. Jika potensi ini tidak diolah, diasah dan dikembangkan, maka akan tersia-siakan. Potensi ini tidak akan memiliki makna sama sekali. Bahkan potensi ini akan mati ketika kita memasuki usia senja. Potensi ini bisa diasah dan dikembangkan dalam kegiatan masyarakat, baik masyarakat sosial, masyarakat lembaga pendidikan maupun masyarakat kelompok keagamaan.
Kasus yang saya amati adalah kaum muda di gereja paroki saya. Dari 4000-an umat, saya rasa ada sekitar 150 sampai 200 kaum muda. Namun dari jumlah itu, hanya satu dua orang yang mau terlibat dalam kegiatan di paroki. Sangat disayangkan memang. Saya tak tahu, apakah mereka berafiliasi dengan komunitas masyarakat lain atau tidak.
Menurut perkiraan saya, mereka enggan terlibat karena takut repot untuk mengurusi ini itu dalam organisasi yang mereka ikuti. Mereka menyia-nyiakan kesempatan mereka untuk berkembang. Mereka telah menyia-nyiakan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepadanya. Sangat disayangkan sekali.
Di sisi lain kelompok pertama ini, yaitu mereka yang memiliki kesempurnaan yang normal, begitu arogan dengan hal-hal yang terkait dengan uang.
Coba jika Anda melamar pekerjaan di sebuah lembaga besar. Anda akan dipaksa untuk mengikuti psikotes. Psikotes merupakan salah satu bukti arogansi manusia-manusia sempurna normal. Dengan berbagai cara pelamar diukur berdasarkan ukuran manusia sempurna normal. Dan ini akan merugikan orang-orang dari kelompok kedua. Coba amati bagaimana nasib orang-orang yang tidak terkategorikan sebagai sempurna normal ketika melamar ke lembaga-lembaga besar. Hampir dipastikan akan gagal.
Sekarang bagaimana dengan kelompok kedua, yaitu kelompok orang-orang sempurna namun tidak normal, orang orang yang mampu hidup mandiri namun memiliki kelemahan pada bidang-bidang tertentu. Ada kalanya orang-orang dari kelompok kedua dengan gigih bersaing (tidak melalui lembaga-lembaga besar tentu saja, karena sistem pada lembaga-lembaga besar hanya kondusif bagi orang-orang sempurna normal) dengan orang-orang dari kelompok pertama.
Saya termasuk orang kelompok kedua. Saya memiliki kekurangan dalam alat bicara saya. Namun saya mampu hidup biasa karena organ tubuh saya lainnya normal. Untungnya Tuhan maha adil. Tuhan memberi saya karunia diatas normal dalam bidang tulis menulis. Saya tidak menyia-nyiakan karunia ini. Saya selama bertahun-tahun belajar menulis, bahkan sampai saat ini saya masih mengembangkan kemampuan saya. Dengan karunia ini saya memiliki pekerjaan sampingan sebagai wartawan majalah rohani. Di paroki, saya juga ditunjuk menjadi koordinator tim kerja komsos (komunikasi sosial).
Saya melihat ada banyak orang muda sempurna normal yang menyia-nyiakan karunianya. Karena takut sibuk, mereka enggan ikut kegiatan di kelompok keagamaan maupun masyarakat umum. Sibuk, sebenarnya adalah alasan. Alasan yang sebenarnya hanyalah enggan saja, malas.
Jika saya yang memiliki kelemahan mampu melakukannya, mengapa Anda semua yang memiliki karunia lebih baik dari saya tak mampu dan tak mau melakukannya.
Sumber : wikimu.com
Senin, 29 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar